Wednesday, September 5

Bantengan Seni Tari Tradisional dari Malang

Setiap daerah tentu mempunyai tradisi dan seni ( tari ) yang berbeda satu sama lainnnya, meskipun
masih saling terkait dalam kisah secara keseluruhan. Tari Topeng Malang¹, kisahnya ada kaitannya
dengan kisah percintaan legendaris antara Panji Asmara Bangun dan Dewi Sekartaji dari Kediri.
Polemik Asal-usul Seni Tari Bantengan.
Di Malang, selain Tari Topeng juga berkembang seni Tari Bantengan. Kesenian ini berkembang pesat
sejak tahun 1960an ketika jaman Orde Lama. Setiap perayaan atau pawai hari ulang tahun
kemerdekaan negara kita senantiasa ditampilkan bersama dengan tari Liang Liong. Namun seiring
kemunduran perekonomian setelah masa itu, seni Tari Bantengan mengalami kelesuhan. Lima belas
tahun terakhir, seni Tari Bantengan mulai menggeliat kembali bahkan mulai menjamur. Hampir setiap
kecamatan di wilayah Kabupaten dan Kota Malang, rata-rata ada 3 – 5 perkumpulan seni tari
Bantengan. Terutama di sekitar Kecamatan Tumpang, Poncokusumo, serta Kota Batu.
Sejak 2003, Kota Batu yang telah menjadi Kota Mandiri, mengakui bahwa Seni Tari Bantengan
merupakan seni tari tradisional yang berasal dari wilayah tersebut. Namun,pengakuan ini, rupanya
mendapat ganjalan pengakuan dari wilayah Celaket yang ada di sekitar Pacet, kota Mojokerto².
Celaket memang tak jauh dari Batu, hanya sekitar 1 jam perjalanan dengan kendaraan melintasi
lebatnya hutan Gunung Arjuna dan Gunung Welirang. Memang masih perlu penelitian lebih mendalam
tentang asal-usul tari Bantengan ini. Apakah pengakuan Kota Batu atas seni Tari Bantengan karena
adanya ‘sanggar tari dan tokoh’ yang berani mengembangkan dengan dana sendiri lalu berhak atas
asal-usulnya?
Alasan ke dua, bahwa seni Tari Bantengan menceritakan kisah penaklukan seekor banteng yang kala
itu masih ada di sekitar hutan antara Batu dan Celaket juga kurang tepat. Sulit mendapatkan
literatur-literatur atau naskah-naskah ilmiah yang menunjukkan bahwa di sana pernah menjadi
habitat banteng. Tentu saja kedua alasan ini menjadi polemik di antara masyarakat pecinta seni serta
para seniman tari ini. Sebab sebelum pengakuan Kota Batu tersebut mencuat, seni Tari Bantengan
tumbuh dan berkembang di seluruh wilayah Malang!
Bias dari kisah pewayangan?
Dalam Maha Barata dikisahkan, Sumbadra adik Kresna dilamar oleh dua ksatria. Pertama, Burisrawa
satria sakti namun sedikit berangasan dan kurang sopan santun dari kelompok kiri atau Kurawa.
Kedua, Arjuna satria sakti dan lemah lembut dari kelompok kanan atau Pandawa. Untuk menentukan
siapa yang berhak menjadi pasangan atau suaminya, Dewi Wara Sumbadra meminta syarat yang
cukup berat. Pertama, kelak sang pengantin harus diarak dengan kereta kencana milik Batara Guru
yang ada di khayangan. Kedua, pengiringnya harus ‘ wanara seta atau kera putih’ yakni Anoman,
yang mustahil akan membantu Kurawa. Ketiga, di barisan depan kereta kencana harus diiringi ‘kebo
danu’ sebanyak 100 ekor. Tentu saja hal ini sulit dipenuhi, sebab permintaan ini sebenarnya ‘akal
bulus’ Kresna kakak Sumbadra yang menolak secara halus lamaran Burisrawa.
Gatotkaca yang diminta membantu Arjuna menemui Betara Guru dikhayangan lewat Puncak
Mahameru untuk meminjam kereta kencana saat terbang melintas kawasan padang rumput atau
kaldera Bromo berhasil menaklukkan 100 ekor kerbau ( banteng? ) pimpinan Kebo Danu ( kerbau
bule ).
Pendapat ini, pernah muncul di antara seniman Tari Bantengan di sekitar Tumpang, Wajak, Wates,
Poncokusumo, dan Ngadas. Pendapat atau argument ini dirasa penulis kurang tepat, dengan alasan
wilayah Kaldera Bromo ( Desa Ngadas ) merupakan wilayah ‘kadewan’ ³ yang tidak mengenal kisah
pewayangan.
Kesurupan dalam Permainan Bantengan.
Dalam pandangan masyarakat tradisional yang masih terpengaruh budaya animisme dan dinamisme
pemberian sesaji sebelum mengadakan suatu upacara, pesta, dan pertunjukan senantiasa diadakan.
Demikian juga sebelum diadakan pertunjukan Seni Bantengan. Pemberian sesaji ini dengan maksud
agar para arwah leluhur ikut hadir dalam pesta tersebut. Sesaji ini merupakan ‘jamuan makan’ bagi
mereka. Maka sesaji bukan bentuk ‘suap’ agar para mahluk halus tidak mengganggu para pemain
atau permainan tersebut.
Sering kita menjumpai dalam permainan Seni Tari Bantengan mengalami kesurupan. Pengalaman
penulis dalam melakukan permainan ini merasakan perbedaan antara kesurupan dengan seni yang
lain. Penjiwaan akan tokoh banteng sepenuhnya akan memberi nuansa tersendiri dalam melakukan
atraksi ini. Adanya pertunjukan spektakuler, misalnya pemain dicambuk tanpa menimbulkan rasa
sakit dan luka karena ada teknik tertentu yang harus dikuasai. Tentu saja hal ini tak bisa disebutkan
disini. Terlalu berbahaya dan perlu latihan khusus.
Beda dalam permainan jelangkung, nini thowok, jaran kepang, dan nyai puthut, kesurupan dirasa
memang ‘adanya’ arwah masuk ke dalam permainan tersebut. Tentunya dengan ‘doa dan mantra’
tertentu yang hanya dikuasai tokoh tertentu.

2 comments: